Sejarah Seragam Sekolah di Jepang
Ternyata dulu pakaian ala sailor merupakan ide seorang kepala sekolah Fukuoka jo gakuin, Ibu Elizabeth Lee.
Zaman dulu anak-anak putri Jepang mengenakan kimono ketika bersekolah
yang tentu saja menyulitkan gerak gerik mereka ketika beraktifitas
terutama berolahraga. Kemudian Ibu Elizabeth Lee teringat dengan model
seragam yang dipakainya ketika belajar di Inggris, yaitu baju
Sailor/Pelaut. Tahun 1918, Ibu Elizabeth meminta seorang penjahit di
Oota Toyokichi untuk menjahitkan baju atasan seragam anak-anak putri.
Tetapi Baju sailor itu ternyata robek ketika dipakai berolah raga, maka
Ibu Elizabeth menyarankan agar dipasang resleting di bagian kiri/kanan
baju dari arah ketiak.Tapi kelihatannya resleting ini tidak lazim
dikenakan.
Kendala selanjutnya gerakan anak-anak
masih terhambat karena rok yang mereka pakai masih berbentuk lurus
panjang. Ibu Elizabeth pun datang kembali ke penjahit dan menjelaskan
agar dibuat rok yang memudahkan anak-anak bergerak. Penjahit mendapat
ide membuat rok berlipit-lipit setelah melihat gorden yang tertiup angin
tetapi setelah itu dan dapat kembali ke bentuk semula. Akhirnya
dibuatlah rok lipit-lipit. Tapi lambat laun rok yang dipakai siswi-siswi
Jepang semakin pendek.
Pada tahun 1921, pertama kali
pemakaian seragam sailor di Jepang. Pada tahun yang sama, sekolah Kinjou
gakuin di Aichi juga memutuskan menggunakan seragam sailor. Adapun anak
laki-laki mereka berseragam seperti tentara Jepang dulu, lengkap dengan
topinya yang disebut dengan `gakuran`. Sebenarnya pakaian sailor untuk
siswi sebenarnya juga agak berkesan militer.
Seragam sailor biasanya dilengkapi
dengan dasi, lalu disertai rok kotak-kotak berlipit-lipit, dan pada
musim dingin para siswi sering memadukannya dengan Loose Shocks (kaus
kaki kedodoran).
Di beberapa sekolah seragam sailor
tidak dipakai lagi, tapi diganti dengan blazer atau kemeja putih
berlengan pendek atau panjang. Tapi rok yang dikenakan tetap pendek,
Anak-anak SMA di jepang lebih modis dan punya gaya berseragam yang
unik-unik.
Hmm..... Tentu para pria menyukai
seragam ini tidak hanya pria di jepang karena seragam sekolah anak putri
jepang membuat mereka terlihat cantik dan sexy dengan rok mini
berlipat-lipat dan seragam atasan dengan kain putih tipis yang apabila
basah terkena keringat atau hujan membuat seragam itu jadi tampak
sedikit transparan...:D
Dengan pakaian seragam, anak sekolah
mudah untuk dikenali, apalagi jika mereka bolos pada jam-jam sekolah.
Ironis nya bagi sekolah-sekolah untuk anak-anak yang tak mampu,
Jangankan untuk membeli seragam, memenuhi kebutuhan sehari-hari pun
mereka kesulitan.
Untuk sistem pendidikannya, di Jepang
menerapkan sistem pendidikan dasar (shougakkou) tidak mengenal ujian
kenaikan kelas, tetapi siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di
kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian seterusnya.
Ujian akhir pun tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk kelompok
compulsoy education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di
tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP.
Tetapi untuk meningkatkan mutu
pendidikan dan kompetensi anak-anak sekolah dijepang , Tentu saja guru
tetap melakukan ulangan sekali2 untuk mengecek daya tangkap siswa. Dan
penilaian ulangan pun tidak dengan angka tetapi dengan huruf : A, B, C,
kecuali untuk matematika. Dari kelas 4 hingga kelas 6 juga dilakukan
test IQ untuk melihat kemampuan dasar siswa. Data ini dipakai bukan
untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-nya, tetapi untuk
memberikan perhatian lebih kepada siswa dengan kemampuan di atas normal
atau di bawah normal. Perlu diketahui, siswa2 di Jepang tidak
dikelompokkan berdasarkan kepandaian, tetapi semua anak dianggap `bisa`
mengikuti pelajaran, sehingga kelas berisi siswa dengan beragam
kemampuan akademik.
Compulsory Education di Jepang
dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh kepada semua anak
untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan
menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan
anak (ditetapkan dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan
akses, maka di setiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun daerah
kampung dan siswa
nya minim (per kelas 10-11 siswa).
Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan anak ke distrik yang lain, jadi
selama masa compulsory education, anak bersekolah di distrik masing2.
Tentu saja mutu sekolah negeri di semua distrik sama, dalam arti
fasilitas sekolah, bangunan sekolah, tenaga pengajar dengan persyaratan
yang sama (guru harus memegang lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh
Educational Board setiap prefecture). Oleh karena itu mutu siswa SD dan
SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan `sama`,
sebab Ministry of Education menkondisikan equality di semua sekolah.
Saat ini tengah digalakkan program reformasi yang memberi kesempatan
kepada sekolah untuk berkreasi mengembangkan proses pendidikannya,
tetapi tetap saja dalam pantauan MOE.
Di tingkat SMP dan SMA, sama seperti
di Indonesia, ada dua kali ulangan, mid test dan final test, tetapi
tidak bersifat wajib atau pun nasional. Di beberapa prefecture yang
melaksanakan ujian, final test dilaksanakan serentak selama tiga hari,
dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari
Educational Board di setiap prefektur. Penilaian kelulusan siswa SMP dan
SMA tidak berdasark
an hasil final test, tapi akumulasi
dari nilai test sehari2, ekstra kurikuler, mid test dan final test.
Dengan sistem seperti ini, tentu saja hampir 100% siswa naik kelas atau
dapat lulus.
Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat
memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti
ujian masuk SMA yang bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh
Educational Board di setiap prefektur. Di Aichi prefecture, SMA-SMA
dikelompokkan dengan pengelompokan A, B. Pengelompokan tersebut dibuat
dalam proses memilih SMA. Setiap siswa dapat memilih satu sekolah di
kelompok A dan satu sekolah di kelompok B. Jika si siswa lulus dalam
kelompok A, maka secara otomatis dia gugur dari kelompok B. Dalam
memilih SMA, siswa berkonsultasi dengan guru, orang tua atau disediakan
lembaga khusus di Educational Board yang bertugas melayani konsultasi
dalam memilih sekolah. Ujian masuk pun hampir serentak di seluruh jepang
dengan bidang studi yang sama yaitu, Bahasa Jepang, English, Math,
Social Studies, dan Science. Di level ini siswa dapat memilih sekolah di
distrik lain.
Seperti dipaparkan di atas, siswa SMA
tidak mengikuti ujian kelulusan secara nasional, tetapi ada beberapa
prefecture yang melaksanakan ujian. Penilaian kelulusan siswa berbeda di
setiap prefecture. Mengingat angka Drop out siswa SMA meningkat di
tahun 1990-an, maka beberapa sekolah tidak mengadakan ujian akhir, jadi
kelulusan hanya berdasarkan hasil ujian harian.
Untuk masuk universitas, siswa lulusan
SMA diharuskan mengikuti ujian masuk universitas yang berskala
nasional. Ini yang dianggap `neraka` oleh sebagian besar siswa SMA.
Sebagian dari mereka memilih untuk belajar di juku (les privat, seperti
di Indonesia) untuk dapat lulus ujian masuk universitas. Ujian masuk PT
dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional- soal ujian disusun oleh
Ministry of education, terdiri dari lima subject, sama seperti ujian
masuk SMA-, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan
masing2 universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas. Skor
kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian di setiap PT.
Seperti halnya di Indonesia, skor hasil UMPTN tidak diumumkan, tetapi
jawaban ujian diberitakan via koran, TV atau internet, sehingga siswa
dapat mengira2 sendiri berapa total score yg didapat. Siswa yang memilih
Universitas dg skor tinggi, tapi ternyata skornya tidak memdai, dapat
mengacu ke pilihan universitas ke-2. Namun jika skornya tidak mencukupi,
maka siswa tidak dapat masuk Universitas. Selanjutnya dia dapat
mengikuti ujian masuk PT swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan
diri untuk mengikuti ujian masuk di tahun berikutnya) di prepatory
school (yobikou)
Penilain mutu pendidikan di Jepang,
dengan kata lain dilakukan dengan menstandarkan ujian masuk SMA dan PT,
tentu saja sistem ini bisa berjalan karena pemerintah di Jepang pun
berusaha maksimal untuk menyamakan kondisi public education-nya, dalam
arti menyediakan infra struktur yang sama untuk setiap jenjang
pendidikan di daerah.
Saat ini gaung autonomy daerah makin
kencang di Jepang, seberapa besar tarik ulur antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam sektor pendidikan menjadi salah satu pengamatan
yang menarik bagi saya pribadi. Di jepang nuansa kebebasan untuk
mengembangkan pendidikan berdasarkan potensi dan karakter daerah sangat
kental.
0 komentar:
Posting Komentar