Pages

Subscribe:

Kamis, 07 Februari 2013

FASHION DI HARAJUKU-SHIBUYA-AKIHABARA


“Surga Gaya” di HARA-SHIBU-BARA

(Penulis buku “HARA-SHIBU-BARA, Tokyo Street Fashion Paradise”, Grasindo- 2012)

Street Fashion di Jepang Fashion selalu menarik untuk dijadikan topik pembicaraan, karena fashion selalu bersifat dinamis merepresentasikan suatu zaman dan masyarakat yang hidup di masa tersebut. Fashion juga bisa merepresentasikan identitas seseorang; hal pertama yang dinilai oleh orang lain sebelum mengenal kita lebih jauh, mau tak mau, adalah gaya penampilan kita. Fashion dapat kita bedakan menjadi high fashion dan street fashion. High fashion pola penyebarannya dari atas ke bawah, atau dari desainer fashion profesional ke media lalu ke masyarakat; sedangkan street fashion justru kebalikannya, polanya dari bawah ke atas; artinya yang memperkenalkan idenya adalah orang awam (masyarakat), diangkat oleh media lalu disempurnakan idenya oleh desainer fashion profesional. Beberapa negara lebih dikenal akan high fashionnya, sebut saja Inggris, Perancis ataupun Itali. Ada juga yang dikenal akan high fashion maupun street fashionnya seperti Amerika, namun di Jepang uniknya masyarakat dunia justru lebih familiar dengan gaya street fashionnya ketimbang high fashionnya, terutama gaya Harajuku atau Harajuku style. Hal ini bisa terjadi karena ruang publik di Jepang sudah sangat baik dan dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat khususnya anak muda untuk memanfaatkan ruang publik sebagai wadah yang menampung kreatifitas mereka, jalanan pun dapat dijadikan sebagai “catwalk” atau “panggung” eksplorasi hobi bersama komunitas masing-masing. Ditambah lagi media yang menjamur dan berlomba-lomba untuk mengabadikan kreatifitas dan keunikan gaya mereka, maka voila! Jadilah Tokyo sebagai pusatnya street style, tidak hanya untuk Jepang, tapi juga untuk dunia. Surga street style di Tokyo sebenarnya tidak hanya Harajuku, tapi Shibuya dan Akihabara pun menawarkan keunikan gaya tersendiri.

Gaya Harajuku, Shibuya, dan Akihabara Harajuku adalah nama sebuah area distrik di Tokyo, lokasinya berada di antara Shibuya, Aoyama, dan Shinjuku. Sejak tahun 1960-an, Harajuku telah menjadi pusat fashion di Jepang. Area tersebut terkenal akan banyaknya toko-toko yang menjual pakaian, tas, alat make-up dan aksesoris dan toko-toko keren lainnya. Harajuku Style sangat beragam dan banyak gaya yang berbeda secara ekstrim, mulai dari gaya inosen Lolita, gaya cool-casual Ura-Hara Kei hingga penampilan dark-punk-androginy Visual Kei. Harajuku menjadi lebih terkenal lagi di era 1980-an, hal ini dikarenakan maraknya aksi street performance dan kostum yang menarik hasil imajinasi para anak muda Jepang yang berkumpul bersama disana setiap hari minggu, saat jalanan dengan butik fashion dan kafe-kafe papan atas di Omotesando ditutup dari lalu lintas kendaraan. Salah satu ciri Harajuku style yang paling menonjol adalah merancang dan/atau re-modifikasi pakaian sesuai karakter diri si pemakainya. Mereka bisa memodifikasi pakaian lama dengan sesuatu yang unik sehingga menjadi gaya baru, misalnya dengan menambahkan aksesoris atau mendekorasi pakaian sesuka imajinasi dan kreatifitas mereka. Dari segi dandanan, jika dibandingkan dengan Shibuya, riasan wajah anak muda di Harajuku biasanya lebih natural, kawaii (manis) dan tidak berkesan seksi. Shibuya merupakan lokasi street style terkenal di Tokyo setelah Harajuku. Jika Harajuku lebih didominasi oleh remaja berusia belasan tahun, Shibuya lebih didominasi oleh wanita dan pria muda berusia 20-an. Kelompok wanita muda yang eksis di Shibuya dengan evolusi gaya dan penampilannya disebut Gals atau Gyaru sedangkan yang prianya disebut Gyaruo. Dari zaman ke zaman para Gyaru berevolusi dengan gaya busana yang ekstrim berbeda. Di tahun 1990-an gaya Gyaru yang fenomenal adalah Kogyaru yang inosen namun seksi dengan seragam sekolahnya, namun di tahun 2000-an gaya Gyaru yang fenomenal justru gaya slebornya Ganguro gals yang melabrak konsep cantik di masyarakat Jepang, sedangkan untuk saat ini gaya Gyaru yang sedang trend adalah Onee Gyaru yang terkesan dewasa dan mempesona dengan keglamorannya. Ciri khas gaya Shibuya yang paling menonjol adalah riasan wajah dan tubuh mereka yang nyaris sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki, mereka tak segan menggunakan wig, bulu mata palsu, nail arts atau kuku palsu hias, dan alat kosmetik yang selalu lengkap di dalam tas mereka.

Akihabara telah lama dikenal sebagai daerah pusat elektronik berkelas dunia yang berada di Tokyo, Jepang. Dari barang elektronik baru hingga bekas pakai dengan kualitas yang masih baik, ada disini. Tak heran jika para pecinta anime dan video game pun kerap berkumpul dan berburu koleksiannya disini. Budaya manga tidak hanya menghadirkan budaya turunan anime dan video games saja, sejak tahun 1983 sebenarnya sudah terbentuk budaya turunan lainnya yang disebut dengan Kosupure atau Cosplay---singkatan dari kata “Costume” dan “Role-play.” Cosplay baru dikenal dunia internasional sebagai salah satu budaya populer Jepang sekitar tahun 2000-an seiring perkembangan internet dan gambar digital. Cosplay memang bukan nama sebuah fashion style, namun di dalam budaya tersebut ada kombinasi antara unsur bermain peran (penjiwaan peran sebagai karakter dari manga/anime/video games) dengan proses kreatifitas mendesain, menciptakan dan mengenakan sebuah kostum yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai karakter yang terdapat di dunia dua dimensi tersebut. Seiring bertambah banyaknya komunitas Cosplayer maupun Otaku, Akihabara pun menjadi salah satu kawasan street style yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu berkarakter dan memberikan kesan utopia baik itu dalam kostum Uniform-Cosplay (Uni-Cos), Character Cosplay (Chara-Cos) maupun Cosplay Doller (Animegao). Tokyo Street Fashion dan Cosplay di Indonesia Konsep “kawaii-fashion” yang diusung oleh gaya street fashion Jepang pada umumnya, sudah mulai memberikan pengaruh yang cukup kuat pada gaya berdandan dan berbusana anak muda di Indonesia. Terbukti dengan makin menjamurnya beberapa toko aksesoris yang kawaii---seperti yang terdapat di Harajuku dan Shibuya--- juga toko-toko kostum bergaya Jepang seperti yang terdapat di Akihabara---yang kini dapat ditemui di kota-kota besar di Indonesia seperti di Bandung dan Jakarta, bahkan di kota pinggiran Jakarta seperti Depok. Komunitas pecinta street fashion Jepang dan juga Cosplay pun kini tidak hanya ada di Jakarta, Bandung, atau Jogja. Di salah satu acara kreatifitas kampus di daerah Sulawesi juga pernah terlihat booth Cosplayers meramaikan suasana. Saat acara peluncuran buku HARA-SHIBU-BARA, Tokyo Street Fashion Paradise di toko buku Gramedia Depok 12 Mei 2012 bersama Gramedia Publishers, Gramedia Depok dan Japan Foundation, saya dibantu oleh teman-teman dari komunitas Makumuro yang berasal dari Bogor. Enam orang dari mereka yaitu Yudha Aditya (Kaoren), Dimas Denica (Hiroyuki), M.Agum (Sora), Serena Celline, Eka Priyanti (Igocha), dan Vincentius Handry Winata, masing-masing menunjukkan penampilan kostum yang menarik; Uni-cos, Chara-cos, juga gaya Visual Kei yang merepresentasikan gaya di Harajuku dan Akihabara, sedangkan saya sendiri mengenakan dandanan a la Moru (Mori Gyaru) yang merepresentasikan gaya Harajuku yang sudah diadopsi oleh komunitas Gyaru di Shibuya. Anak-anak Makumuro tersebut melakukan performance yang membuat para pengunjung merasakan sensasi utopia dunia fantasi Jepang yang biasanya hanya mereka saksikan dalam dunia dua dimensi. Salah satu perwakilan mereka yang juga seorang magician, yaitu Vincent, ikut bersama saya dan Ms. Hashimoto Ayumi dari Japan Foundation di dalam talk show untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman kami mengenai budaya pop Jepang khususnya tentang street fashion Jepang baik di Jepang maupun di Indonesia.

Di Indonesia, gaya street fashion Jepang yang paling sering di tampilkan saat ada acara-acara bertemakan budaya Jepang adalah gaya Lolita khususnya Gosurori, Visual Kei, Decora, dan kostum Cosplay---baik Uni-cos maupun Chara-cos. Sejauh ini saya belum pernah melihat ada Cosplay Doller di Indonesia. Sedangkan dalam kesehariannya, anak muda Indonesia kebanyakan bergaya street fashion Jepang yang cenderung kasual misalnya dengan memakai topi fedora, kaca mata berbingkai tebal ataupun sunglasses, T-shirt dipadu dengan vest atau jaket, jeans dan aksesoris yang sederhana namun tetap gaya seperti pashmina atau scarf berlogo merk-merk terkenal (Gucci, Fendi, LV, dsb) mirip dengan gaya di Ura-Harajuku atau Ura-Hara Kei. Ada juga remaja putri yang berani berpenampilan kawaii, terlebih yang mengidolakan girlband Indonesia seperti Cherrybelle dan JKT48, sehari-hari mereka bisa berdandan kasual yang manis dengan paduan rok pendek mengembang atau celana pendek yang dipadukan dengan legging atau kaus kaki panjang selutut, menggunakan baju berenda atau berpita dan menghias rambut dengan bandana warna-warna pastel seperti ungu muda dan baby pink mirip gaya-gaya Fairy Kei di Harajuku. Saat ditanya oleh pengunjung mengenai perbedaan Cosplay di Jepang dan di Indonesia, Vincent sepakat dengan saya bahwa Cosplay di Jepang dan di Indonesia hampir sama, namun tidak seperti di kompetisi Cosplay di Jepang yang membatasi karakter cosplay (hanya boleh dari manga/anime/games Jepang), di Indonesia kreatifitas Cosplayers lebih memiliki ruang gerak yang luas dalam berimajinasi dan mengkreasikan karakter baru yang orisinal, di dalam kompetisi Cosplay, kreasi ini dimasukkan ke dalam kategori Original Characters. Vincent memberikan contoh karakter Wayangbliz Legends yang dikreasikan oleh komunitas Skoater Akademi, karakter imajinasi tersebut memadukan ciri khas wayang Indonesia dengan gaya robot ala Jepang; sedangkan saya sendiri pernah bertemu cosplay tokusatsu dengan karakter Gatot-Gundam (paduan robot Gundam dan wayang Gatot Kaca) di sebuah festival budaya Jepang di salah satu mall di Depok, inilah yang membuat cosplay di Indonesia semakin berwarna dan dapat menjadi wadah kreatifitas anak muda Indonesia.

Tidak semua komunitas cosplayer merupakan komunitas yang berorientasi mengikuti berbagai kompetisi, ada komunitas yang dibentuk hanya untuk bersenang-senang dengan hobi yang sama yaitu berkreasi dan bereksplorasi dengan kostum bernuansa Jepang. Menurut Adit, Makumuro ---berasal dari kata “Makmur Jaya” yang ‘diplesetkan’ menjadi ke-jepang-jepang-an---merupakan komunitas cosplayers/pecinta budaya pop Jepang yang dibentuk untuk bergaul dan bersenang-senang. Mereka rata-rata sudah familiar dengan budaya pop Jepang sejak masih SD lewat manga dan anime, lalu mulai tertarik untuk terlibat aktif di acara-acara yang bertemakan Jepang saat SMU, seperti Eka yang awal ketertarikannya bercosplay karena punya teman yang kenalannya seorang cosplay costume-maker, atau Serena yang dikenalkan oleh Vincent ke komunitas Makumuro, dan mengaku baru mencoba bercosplay saat di acara peluncuran buku HARA-SHIBU-BARA, dan langsung merasa ketagihan. Vincent sendiri tergabung juga di komunitas Cosplayer yang lebih “serius” mengikuti kejuaraan-kejuaraan Cosplay bernama Machipot Indonesia. Gaya Gyaru Shibuya masih sulit ditemukan di Indonesia, namun beberapa artis di Indonesia ada yang gayanya menyerupai gaya gyaru terkini yang berkesan glamour, manis dan seksi, misalnya Pinkan Mambo dandanannya mirip gaya Agejo yang seksi dengan rambut panjang berwarna pirang, atau Syahrini yang selalu bermake-up sempurna dengan bulu mata palsu, rambut ikal panjang, dan aksesoris yang “blink-blink” mirip gaya Onee-gyaru di Shibuya. Jika ingin tahu banyak tentang perbedaan dan macam-macam gaya Tokyo Street Fashio di Harajuku, Shibuya maupun Akihabara, silahkan temukan sendiri di buku HARA-SHIBU-BARA Tokyo Street Fashion Paradise karya Hesti Nurhayati, terbitan Grasindo, 2012, dan silahkan juga mengunjungi: HaraShibuBara, Tokyo Street Fashion Paradise. Selamat menemukan surganya street fashion style dan salam kawaii! ^_^V
http://www.jpf.or.id/artikel/budaya/fashion-di-harajuku-shibuya-akihabara

0 komentar:

Posting Komentar